Rabu, 14 November 2007

Pemanfaatan Ulin Dilonggarkan lagi

Masa depan pemanfaatan pemanfaatan kayu ulin mulai mendapat titik terang. Dua menteri sepakat bakal membuat keputusan bersama untuk mengatur pemanfaatan kayu keras berjuluk kayu besi ini. Intinya, pemanfaatan tetap terbuka meski dengan beberapa pembatasan.
Kayu ulin (Eusiderroxylon swageri) atau belian alias kayu besi memang sudah jadi barang langka. Tidak heran, jika Departemen Kehutanan pun coba melokalisir pemanfaatannya tak boleh keluar dari Kalimantan, wilayah yang masih menyimpan potensi kayu tersebut.
Namun, pembatasan ini seperti jalan sendiri tanpa tengok kanan-kiri. Padahal, ketika menyangkut perdagangan, ada aturan lain yang juga jadi pegangan bagi para pemanfaat kayu eksotis tersebut. Buntutnya, ibarat lalulintas, pengguna jalan yang jadi korban. Ketika lampu kehutanan menyala merah, lampu dari perdagangan masih hijau.
Kondisi kisruh ini yang membuat resah sejumlah pengusaha. Ekspor pun mampet. Padahal, semua departemen ekonomi punya beban sama: menggenjot ekspor.
Menyadari stagnasi tak sehat, Departemen Kehutanan akhirnya memberi sinyal perbaikan. Lampu merah hanya menyala jika si besi datang dari hutan alam. Untuk kayu dari luar hutan alam atau tanah rakyat, ulin silakan jalan sampai keluar Kalimantan.
Hanya saja, hutan alam juga bukan harga mati. Menurut Sekditjen Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan, Hadi Daryanto, ulin dari hutan alam masih bisa dimanfaatkan dengan catatan, kayu tersebut merupakan tebangan untuk pembangunan jalan, pembuatan camp atau fasilitas pendukung pengelolaan hutan alam.
Hadi melanjutkan, kayu ulin yang berasal dari land clearing pembangunan hutan tanaman atau kebun juga bisa dimanfaatkan dengan dokumen Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). “Hal yang sama juga berlaku untuk kayu ulin yang berasal dari areal pertambangan,” katanya.
Itu sebabnya, kata Hadi, aturan pemanfaatan kayu ulin nantinya akan tertuang dalam surat kesepakatan bersama (SKB) dua menteri, yaitu menteri kehutanan dan menteri perdagangan. Aturan tersebut diharapkan terbit dalam waktu dekat. “Draft-nya sudah beres, sebentar lagi disahkan,” kata Hadi.
Bagaimana dengan pengusaha yang masih punya stok dari hutan alam dan tak bisa mengekspor akibat kekisruhan sebelumnya? Hadi menyatakan tak perlu cemas. Pasalnya, pemerintah memberi tenggang waktu hingga enam bulan pasca aturan tersebut disahkan untuk memanfaatkan stok kayu ulin tersebut. Dia juga menyatakan, IPK ulin yang diberikan kepada sejumlah perusahaan oleh kepala dinas dinyatakan tetap berlaku hingga satu tahun setelah diterbitkannya aturan tersebut.
Tumpang Tindih
Melegakan, memang. Sebelumnya, pengusaha dibuat kalang-kabut dan tak tahu harus memegang aturan yang mana. Pasalnya, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat edaran No. S.147/Menhut-IV/2006 pada 9 Maret 2006 yang memperketat pemanfataan dan peredaran kayu ulin. Kebijakan tersebut dipertegas lewat Surat Edaran Dirjen BPK Dephut No.S.669/IV-BPHA/2006 yang terbit 15 Agustus 2006. Dalam surat edaran itu disebutkan, kayu ulin tidak diperkenankan diperdagangkan di luar Kalimantan.
Pengetatan itu juga bukan tanpa alasan. Kayu besi ini ternyata makin langka. Di sisi lain, proses perbanyakan bibit juga sulit hingga keberadaan kayu ini makin terancam.
Sayangnya, ketika di hulu dicekik, di hilir justru tidak ada aturan perdagangan yang melarang peredaran kayu ulin seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.09/M-Dag/Per/2/2007. Ini juga ditegaskan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Departemen Perdagangan dalam suratnya kepada Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan pada 28 Mei 2007.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depdag sendiri sudah melayangkan surat bernomor 418/DAGLU/2007 pada 27 Maret 2007 kepada Dirjen BPK Dephut yang isinya meminta penjelasan terkait kebijakan Dephut tentang peredaran dan pemanfaatan kayu ulin.
Butuh kepastian
Menanggapi bakal dikeluarkannya SKB pemanfaatan kayu ulin, Ketua Umum Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), Soewarni mengaku senang dan makin cepat makin baik. Dia menilai sudah sewajarnya pemerintah memberi ketegasan. “Hal itu diperlukan guna kepastian usaha pemanfaatan kayu ulin,” katanya.
Selama ini, lanjut dia, aturan pemanfaatan kayu ulin sangat kabur, kalau bukan membingungkan. Apalagi sampai terjadi tumpang tindih aturan pemerintah tentang pemanfaatan kayu ulin.
Akibat tumpang tindih tersebut, BRIK sempat menghentikan endorsement ekspor produk kayu ulin. Namun, setelah Depdag menjelaskan kayu ulin bukan kayu haram untuk diperdagangkan BRIK, kembali meng-endorse ekspor produk kayu ulin.
Soewarni menuturkan, meski kayu ulin bukan komoditas utama perdagangan kayu Indonesia, namun dengan harga yang cukup tinggi diharapkan bisa mendongkrak kinerja ekspor industri perkayuan tanah air. Saat ini harga kayu ulin bentuk olahan mencapai 1.000 dolar AS/m3.
Soewarni mengaku kalangan pengusaha memahami jika pemerintah pada akhirnya melarang total pemanfaatan kayu ulin demi melindungi keberadaannya. Meski demikian, dia meminta agar pemerintah memberi tenggang waktu hingga stok kayu ulin yang kini berada berada di kalangan pengusaha habis. Sugiharto

Dephut Cabut HPH Keang Nam

Mendapat vonis bebas sepertinya belum akan membuat Adelin Lis tersenyum. Pasalnya, selain masuk daftar DPO kepolisian untuk kasus pencucian uang, yang lebih parah justru nyawa usaha, izin HPH PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), dibetot Departemen Kehutanan. Ada aroma politis?
Inilah perkembangan terbaru kasus Adelin Lis. Di luar ribut-ribut adanya mafia peradilan yang membebaskan anggota keluarga pemilik kelompok usaha perkayuan Mujur Timber ini, Departemen Kehutanan membuat langkah drastis. Izin HPH PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) dicabut.
Keputusan pencabutan izin HPH itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.351/Menhut-II/2007 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.805/KPTS-IV/1999 tanggal 30 September 1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT Keang Nam Development Indonesia di Kabupaten Mandalaing Natal, Sumatera Utara. Keputusan pencabutan itu terbit pada 22 Oktober 2007.
Satu hal yang patut dicermati. Dalam amar menimbang, keputusan pencabutan itu sama sekali jauh dari kenyataan yang diungkap media massa, yakni terkait pembalakan liar. HPH KNDI kena betot karena masalah teknis dan aturan yang berlaku di Dephut. Salah satunya soal kewajiban pemberian saham 20% kepada masyarakat sesuai perintah SK Menhutbun No. 805/1999.
“Ini adalah sanksi tegas yang diberikan Departemen Kehutanan bagi pengusaha yang tidak melaksanakan kewajibannya,” kata Direktur Bina Pengembangan Hutan Alam Dephut, Listya Kusumawardhani.
Listya juga menjelaskan, KNDI diketahui tidak melakukan kewajibannya berdasarkan laporan hasil penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Alam Lestari (PHAPL) yang dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen, PT Focus Consulting Group.
Padahal, kata Listya, sesuai dengan Amar ketiga Butir 1 SK Menhutbun No.805/KPTS-IV/1999 tanggal 30 September 1999 yang merupakan izin pembaharuan KNDI, perusahaan wajib melakukan pemberian saham kepada masyarakat.
Listya juga menuturkan, Dephut sudah melewati semua prosedur sebelum pencabutan dilakukan. Peringatan pertama diberikan pada 7 Februari 2007 lewat Surat Menhut No.S.86/Menhut-VI/BPHA/2007. Peringatan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peringatan kedua yang terbit 11 April 2007 lewat surat Menhut No.S198/Menhut-VI/BPHA.
Karena tak juga mendapat tanggapan, peringatan ketiga pun dilayangkan tanggal 31 Mei 207 lewat surat Menhut No.S.296/Menhut-VI/BPHA/2007. “Setelah batas waktu yang ditentukan KNDI tidak memenuhi kewajibannya, maka izinnya kami cabut,” katanya.
Setelah pencabutan, Dephut memerintahkan agar KNDI menghentikan semua kegiatannya. Kewajiban finansial yang belum diselesaikan juga harus dipenuhi. KNDI juga harus melaporkan pertanggungjawaban yang meliputi seluruh aspek kegiatan teknis dan finansial yang telah dilaksanakan kepada pemerintah paling lambat 30 hari pasca pencabutan. “Apabila hal itu tidak dilaksanakan, maka KNDI bisa dikenakan tindakan hukum sesuai dengan perundangan yang berlaku,” kata Listya.
Listya bahkan menyiratkan, kalau izin HPH milik Adelin Lis yang lain, PT Inanta Timber yang memegang konsesi seluas 40.610 ha di Batang Gadis, Madina, Sumatera Utara juga dibidik Dephut. “Saat ini kami masih melakukan penyelidikan. Jika memang terbukti melanggar, sanksi pencabutan bisa dikenakan,” katanya.
Aroma Politis
Pencabutan izin HPH milik Adelin Lis di tengah ramainya kasus ini, tentu memunculkan pertanyaan. Adakah tekanan terhadap Dephut untuk melakukan tindakan tersebut? Atau, apakah ini merupakan upaya Dephut meredam tekanan masyarakat?
Hal ini pula yang jadi pertanyaan Sekretaris Badan Koodinasi Daerah Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Kalimantan Barat, Gusti Hardiansyah. Menurut dia, sangat disayangkan jika Dephut mengambil tindakan tersebut jika hanya didasarkan kepada tekanan pihak lain. “Jangan sampai untuk sekadar mendinginkan suasana, Dephut mengambil tindakan yang merugikan kalangan pengusaha,” katanya.
Jika itu yang terjadi, lanjut dia, akan timbul kekhawatiran di kalangan pengusaha soal masa depan usahanya. Terutama yang saat ini sedang berurusan dengan kepolisian.
Listya membantah kalau tindakan yang diambil Dephut didasarkan kepada tindakan politis untuk “menyelamatkan muka” Dephut. Tindakan yang diambil terhadap KNDI murni dilakukan dengan pertimbangan teknis kehutanan dan peraturan yang berlaku. “Perusahaan tersebut tak merealisasikan kewajibannya. Otomatis kami cabut,” katanya.
Dia juga menegaskan, hal yang sama bisa dilakukan bagi perusahaan lain yang tidak melaksanakan kewajibannya. “Kami mendorong agar pemegang izin HPH mengelola hutannya secara lestari dan berkelanjutan. Untuk itu, semuanya harus mengikuti peraturan yang ditetapkan,” tegas Listya.
Gusti sendiri menilai, jika pencabutan izin KNDI memang murni disebabkan kesalahan KNDI, sudah sepanyasnya itu dijadikan pelajaran oleh perusahaan lain. Pemerintah, kata Gusti, tak akan main-main dalam mengakan peraturan. “Jadi, bagi pengusaha yang masih mau berbisnis kehutanan harus pengusaha yang benar-benar punya komitmen untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan menerapkan peraturan yang berlaku,” katanya.
Dia juga mengapresiasi langkah yang diambil Dephut, terutama berkaca pada kasus Adelin Lis. Langkah Dephut yang dimotori Menteri Kehutanan MS Kaban dalam memberi jaminan bagi pengusaha pemegang izin sudah sangat tepat. “Menhut telah berani melindungi pengusaha yang memegang izin sah,” katanya.
Meski demikian, hal itu belum cukup untuk mendorong revitalisasi kehutanan seperti yang dicanangkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, seluruh jajaran pemerintah seharusnya bisa memberi jaminan usaha bagi pengusaha pemegang izin resmi yang diterbitkan pemerintah. “Jika tidak, revitalisasi kehutanan sangat berat,” ujarnya. Sugiharto

Mentok di Sumut, Mentok di Riau
Apa yang terjadi di Sumatera Utara lewat kasus Adelin Lis seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak penegak hukum. Para pemegang izin yang sah tak bisa seenaknya diobok-obok. Jadi, kalau kali ini penegak hukum mentok di Sumut, hal yang sama bisa jadi mentok di Riau, provinsi yang juga sedang panas-panasnya soal illegal logging.
Asal tahu, Tim gabungan percepatan penanganan pemberantasan illegal logging di Riau bentukan presiden baru saja melansir rekomendasinya.
Rekomendasi tersebut dilansir awal pekan lalu usai rapat koordinasi bidang Polhukam yang dipimpin Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Widodo AS. Rapat dihadiri Menkopulhukham, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Sutanto, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar, dan Sekjen Departemen Kehutanan Boen M Purnama.
Rekomendasi Tim gabungan menyebut, guna mempercepat proses penyelesaian kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging), pemerintah menetapkan empat tindakan. Keempat langkah yang ditempuh adalah percepatan proses hukum, evaluasi kebijakan pengelolaan kehutanan, kelanjutan kegiatan usaha serta pemanfaatan kayu sitaan melalui lelang. Percepatan proses hukum yang dilakukan mencakup keseluruhan aspek, yaitu pidana, perdata, dan administrasi.
Percepatan proses hukum dilaksanakan sesuai dengan konstruksi hukum yang mengacu pada peraturan perundangan yang ada, seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di samping peraturan perundangan yang lain.
Departemen Kehutanan juga akan merevisi dan menata kebijakan pengelolaan kehutanan, di antarannya menyangkut perencanaan tata ruang dan penataan proses hukum. Sedangkan untuk keberlanjutan kegiatan usaha, pemerintah menetapkan agar kegiatan usaha yang berlangsung harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada.
Sedangkan pemanfaat kayu sitaan melalui lelang, pemerintah menyepakati pemanfaatan kayu yang masih berstatus barang bukti dilakukan melalui proses lelang yang dipercepat. Menurut anggota Tim Gabungan yang mewakili Dephut, Arman Malolongan, rekomendasi itu bukan kerja final Tim Gabungan. “Tim Gabungan masih akan melakukan rapat lanjutan untuk menentukan langkah selanjutnya,” katanya.Rekomendasi terkesan normatif? Bisa jadi. Apalagi, rekomendasi yang dihasilkan tak jauh-jauh dari instruksi presiden ketika tim gabungan dibentuk. Pastinya, jangan kaget jika penyelesaian berbagai kasus di Riau bakal sama persis seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Sugiharto

Vonis Bebas Adelin Lis: Dagelan Berbuah Penistaan


Adelin Lis bebas. Buat banyak pihak, keputusan Pengadilan Negeri Medan Senin, (5/11), benar-benar mengejutkan. Maklum, kalau melihat tuduhan yang diajukan polisi tidak tanggung-tanggung. Pemilik HPH PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) ini telah melakukan illegal logging dan korupsi dengan kerugian negara Rp200 triliun lebih. Jadi, jangankan bebas, dihukum 1-2 tahun saja bisa dianggap “ada apa-apa”.
Tapi, jika mau berpikir dan membaca dengan teliti kasus ini dari awal, putusan bebas majelis hakim yang dipimpin H. Arwan Byrin, SH, MH itu malah sudah bisa ditebak. Ibarat peluru hampa, dia hanya menyalak tanpa ada proyektil. Kosong. Hanya ramai di publisitas, yang menciptakan citra positif penegakan hukum, tapi meninggalkan bom waktu penistaan bagi korps baju hitam.
Apalagi setelah melihat dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Meski dibidik dengan undang-undang kelas berat, namun dakwaan seolah tidak melihat esensi persoalan. Adelin Lis dianggap bersalah dan secara dakwaan primer dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dakwaan primer kedua, Adelin Lis dianggap bersalah dan dituduh melanggar Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo. UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Terbukti di dalam persidangan Majelis Hakim PN Medan akhirnya menyatakan Adelin Lis tidak terbukti melakukan korupsi dan merugikan negara karena tidak menggunakan keuangan negara dalam melakukan penebangan kayu di Kabupaten Madina. Selain itu, Adelin Lis juga telah membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).
Majelis hakim juga menyatakan, terdakwa tidak terbukti melakukan pembalakan liar karena memiliki izin resmi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 805 Tahun 1999. Adelin Lin memang pemegang izin HPH KNDI seluas 58.590 hektare (ha) di kelompok hutan Sungai Singkuang-Sungai Natal, Provinsi Sumatera Utara.
Sementara hasil penelitian dari saksi ahli yang menyatakan adanya kerusakan tanah di lokasi PT KNDI dinyatakan meragukan karena penelitiannya hanya dilakukan selama satu hari.
Dari hasil itu semua, Majelis Hakim PN Medan akhirnya membebaskan Adelin Lis dari jerat tuntutan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan subsider enam bulan penjara. Adelin Lis dinyatakan bebas dari semua dakwaan.
Periksa penegak hukum
Oleh karena itu, di luar ribut-ribut pemberitaan -- termasuk upaya polisi memasukkan Adelin dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk kasus pencucian uang serta upaya eksaminasi kejaksaan dan pelaporan majelis hakim ke Komisi Yudisial -- tak sedikit yang malah menilai masalah ini hanya dagelan konyol.
Simak saja komentar anggota Komisi IV DPR (F-PDIP), Ganjar Pranowo. Dia malah menilai masyarakat tak perlu terkejut dengan keputusan majelis hakim. Pasalnya, banyak keganjilan yang diperlihatkan selama proses peradilan. “Saya tak terkejut dengan keputusan itu. Keputusan tersebut sudah saya prediksi sejak awal,” katanya.
Beberapa keganjilan yang dipaparkan politisi PDI Perjuangan itu misalnya soal bukti belum dibayarnya DR dan PSDH oleh Adelin Lis. Faktanya, Adelin justru rutin membayar kewajiban itu kepada negara. “Yang jadi pertanyaan, kenapa penegak hukum justru menyerahkan bukti yang lemah?” katanya.
Dia juga mempertanyakan dihadirkannya saksi ahli yang justru tidak memahami perhitungan kerugian kerusakan lingkungan. Bukannya menghadirkan ahli lingkungan, saksi ahli yang dihadirkan justru ahli kebakaran hutan. Padahal, Adelin Lis dituduh telah membuat negara merugi ratusan triliun rupiah. “Kenapa saksi ahli yang dihadirkan adalah ahli kebakaran hutan? Ini tentu saja patut dipertanyakan,” katanya.
Ganjar juga melihat, upaya para penegak hukum kembali menjerat Adelin Lis lewat dakwaan pencucian uang (money laundeering) juga takkan membuahkan hasil. “Itu hanya upaya untuk mencari-cari celah. Kalau dakwaan pokoknya saja tidak terbukti, bagaimana mau menjerat dengan pencucian uang?” katanya.
Ganjar menegaskan, kasus ini sudah jadi perhatian publik. Oleh sebab itu, pihak penegak hukum harus benar-benar bisa membuktikan semua tuduhan yang dialamatkan kepada Adelin Lis. Termasuk dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung. “Jika di tingkat kasasi tuduhan kembali tidak terbukti, semakin jelas kalau semua ini cuma dagelan. Kalau sudah begini, maka penegak hukumlah yang seharusnya diperiksa,” katanya.
Sikap senada juga datang dari pengamat kehutanan yang juga Ketua Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Hariadi Kartodihardjo. Menurut dia, kalau melihat dakwaan yang diajukan kepada Adelin Lis dalam persidangan, tak perlu heran jika akhirnya Adelin Lis dibebaskan. “Tuntutannya aneh-aneh begitu,” katanya.
Hariadi menyatakan, jika berkaca pada tuntutan yang dialamatkan, maka yang salah dalam proses persidangan Adelin Lis adalah tuntutan yang dialamatkan kepadanya. “Sayangnya yang berkembang di masyarakat bukan seperti itu. Nyatanya, Adelin Lis bebas karena tuntutannya aneh-aneh,” katanya. Sugiharto



Yang Ilegal Malah tak Pernah Ditangkap
Berani karena benar. Prinsip ini yang rupanya dipegang oleh Menteri Kehutanan MS Kaban. Meski dihujani kecaman dalam kasus Adelin Lis, Kaban bergeming. Terutama terkait surat yang dilayangkan kepada kantor pengacara Hotman Paris Hutapea, sebagai kuasa hukum Adelin Lis.
Tak sedikit yang menganggap itu adalah “surat sakti” Kaban untuk mengintervensi proses peradilan Adelin Lis dengan dakwaan melakukan pembalakan liar. Namun, Kaban tetap cool. Surat itu, katanya, hanya surat keterangan biasa. Dalam surat tersebut disebutkan kalau Adelin Lis adalah pemegang izin resmi pengelolaan hutan yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.805/KPTS-IV/1999 tentang pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT Keang Nam Development Indonesia di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara yang diterbitkan 30 September 1999.
Berikut petikan wawancara dengan Menhut MS Kaban:
Anda dianggap melakukan intervensi dalam persidangan kasus Adelin Lis karena mengirim surat kepada kuasa hukumnya?
Saya tegaskan, surat itu bukanlah surat sakti. Itu hanya surat biasa. Surat yang saya kirim hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kuasa hukum Adelin Lis. Saya jawab, kalau Adelin Lis adalah pemegang izin resmi yang diterbitkan oleh pemerintah. Itu saja. Jadi, surat itu harus dilihat secara proporsional. Sebagai menteri kehutanan, wajar jika saya memberikan jawaban tersebut. Karena nyatanya Adelin Lis memang memegang izin yang dikeluarkan pemerintah.
Tapi, surat itu dianggap mengintervensi keputusan pengadilan?
Tidak ada yang bisa mengintervensi peradilan. Lagi pula surat itu tidak ditujukan kepada pengadilan.
Lalu bagaimana soal vonis bebas terhadap Adelin Lis?
Begini. Sebanyak 85%-90% kasus illegal logging atau pembalakan liar divonis bebas oleh pengadilan karena kebanyakan adalah perusahaan yang memang telah memiliki izin. Oleh karena itu, dalam penegakan operasi illegal logging kalau kita tidak mau kecewa harus konsisten terhadap instruksi presiden, yaitu konsisten pada yang bekerja di kawasan yang ilegal.
Yang juga harus diingat, kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian usaha bagi perusahaan yang telah memiliki izin resmi. Jika pengusaha selalu ditekan tentu tidak akan berkembang.
Langkah apa sebenarnya yang dilakukan Departemen Kehutanan soal pembalakan liar?
Yang jelas, kita tak pernah kompromi dengan pembalakan liar. Hal ini sudah sejak awal saya tegaskan. Soal pelaku-pelaku pembalakan liar, Dephut sudah memiliki daftar pelaku yang terlibat. Dan karena konsisten terhadap Inpres No.4/2005 (tentang pemberantasan pembalakan liar), karena itu percepatan pemberantasan illegal logging dilakukan di kawasan yang tidak mempunyai izin. Sayangnya, nama-nama itu justru tak pernah ditangkap bahkan diadili. Yang ada justru para pemegang izin yang yang selalu diincar. Jadi kalau punya izin, ya risiko seperti sekarang ini (banyak divonis bebas, Red.). Sugiharto

Selasa, 13 November 2007

Hutan Lindung di Malinau Jual Karbon

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malinau, Kaltim terus melakukan terobosan baru. Setelah meluncurkan Deklarasi Malinau sebagai Kabupaten Konservasi 5 Juli 2005 lalu, kini Pemkab itu melakukan terobosan dengan mendedikasikan kawasan hutan lindung seluas 325.041,6 hektare pada Global Eco Rescue (GER) Ltd untuk pemanfaatan jasa lingkungan melalui Perdagangan Karbon Sukarela (PKS) alias Voluntary Carbon Market (VCM)
Untuk merealisasikannya, Pemkab Malinau bersama GER tengah menginisiasi kerjasama proyek percontohan (pilot project) itu di tiga hutan lindung: Pasilan Tabah Sungai Sembakung, Long Ketrok dan Gunung Laung Gunung Belayan.
Bupati Malinau periode 2006-2011, Marthin Billa, yakin langkah ini akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi anak cucu masyarakat Malinau. “Kami sangat menyadari, sebagai daerah otonom yang berhak dan berwenang mengelola hutan-hutan lindung di dalam wilayah hukumnya harus memelihara lingkungannya demi kelanjutan dan peningkatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan ekonomi rakyat dan perlindungan jangka panjang terhadap warisan alam Indonesia,” ujarnya.
Marthin menyadari Kabupaten Mali-nau miskin di sektor jasa dan perdagangan ketimbang daerah lainnya. Namun kaya akan keanekaragaman hayati yang merupakan bagian dari Borneo's vast tropical wilderness. Wilayahnya itu didominasi dataran tinggi dan hulu-hulu sungai besar di Kalimantan Timur. Di sana, sebagian besar berupa hutan primer dari berbagai strata dan tipe. Masyarakatnya kebanyakan bergantung pada hutan. Dengan adat istiadat dan budayanya unik.
Kendati demikian, kabupaten yang berada di pedalaman hutan belantara dan minus akses langsung ke daerah pengem-bangan itu bukan berarti jauh dari sentuhan pembangunan. Justru dengan potensinya itu merupakan modal inovasi tanpa memba-hayakan lingkungan dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang bergantung pada hutan.
Kebetulan skema PKS cocok dengan komitmen Marthin karena akan mengha-silkan pendapatan untuk pengelolaan hutan lindung di Malinau. “Global Eco Rescue menyediakan 1 Euro perhektar pertahun sebagai dana pendukung untuk meningkat-kan kualitas pengelolaan hutan percontohan. Dana yang diberikan cuma-cuma ini bukan bagian dari penjualan reduksi karbon,” ungkap Marthin.
Berarti jika kurs 1 Euro Rp13.000 maka Kabupaten Malinau sedikitnya bakal menerima Rp4,225 miliar pertahun. Marthin yang pernah dianugrahi Otonomi Award dan Kehati Award 2006 serta Kalpataru kategori Pembina Lingkungan Hidup 2007 ini menjamin duit sebanyak itu akan diterima langsung rakyat Malinau lewat badan yang dibentuk masyarakat itu sendiri.
“Melalui Gerakan Pembangunan Desa Mandiri (Gerbang Dema). Masyarakat akan dilibatkan dengan berbagai aktivitas unggulan di setiap kecamatan. Mungkin itu perkebunan, perikanan atau peternakan. Yang pasti, aktivitasnya di luar kawasan hutan percontohan,” paparnya saat kon-ferensi pers tentang Perjanjian Proyek Percontohan Pemkab Malinau dan GER Ltd Melalui VCM pekan lalu di Jakarta.
Selama ini, urusan pengelolaan hutan konservasi jadi beban pemerintah. Semen-tara hutan lindung yang dikelola Pemkab dan provinsi, kebanyakan dibiarkan begitu saja dan belum dimanfaatkan secara optimal. Atau justru perdagangan sumber daya hutan yang fokusnya hanya pada kayu yang mendorong pembabatan hutan. Akibatnya, Indonesia dicap negeri terbesar ketiga pe-nyumbang Gas Rumah Kaca (GRK), biang memanasnya suhu global dan perubahan iklim.
Namun PKS jelas beda karena komoditasnya yakni kemampuan hutan dalam menyerap karbon dioksida (CO2). Sudah begitu, menghasilkan fulus guna memperbaiki pengelolaannya.
“Dengan keikutsertaan pengusahaan hutan dalam skema VCM akan mening-katkan penghasilan bisnis pengusahaan hutan yang dapat dipakai untuk memperbaiki kinerja Pemkab Malinau menuju penge-lolaan hutan lestari,” kata Direktur PT GER Indonesia, Laode M. Kamaluddin.
Seperti diketahui, kerjasama itu diinisiasi lembaga nirlaba, Borneo Tropical Rainforest Foundation (BTRF) yang melihat potensi hutan Malinau. Kerjasama tersebut tindak lanjut dari nota kesepahaman antara Pemkab Malinau, GER dan BTRF untuk melestarikan hutan Malinau melalui VCM.
Lewat VCM, karbon kredit bisa diper-oleh. Lain dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) produk Protokol Kyoto yang njelimet. Sebaliknya, PKS sesuai namanya berdasarkan kerelaan, fleksibel dan terbuka untuk semua organisasi. Fenny