Rabu, 14 November 2007

Pemanfaatan Ulin Dilonggarkan lagi

Masa depan pemanfaatan pemanfaatan kayu ulin mulai mendapat titik terang. Dua menteri sepakat bakal membuat keputusan bersama untuk mengatur pemanfaatan kayu keras berjuluk kayu besi ini. Intinya, pemanfaatan tetap terbuka meski dengan beberapa pembatasan.
Kayu ulin (Eusiderroxylon swageri) atau belian alias kayu besi memang sudah jadi barang langka. Tidak heran, jika Departemen Kehutanan pun coba melokalisir pemanfaatannya tak boleh keluar dari Kalimantan, wilayah yang masih menyimpan potensi kayu tersebut.
Namun, pembatasan ini seperti jalan sendiri tanpa tengok kanan-kiri. Padahal, ketika menyangkut perdagangan, ada aturan lain yang juga jadi pegangan bagi para pemanfaat kayu eksotis tersebut. Buntutnya, ibarat lalulintas, pengguna jalan yang jadi korban. Ketika lampu kehutanan menyala merah, lampu dari perdagangan masih hijau.
Kondisi kisruh ini yang membuat resah sejumlah pengusaha. Ekspor pun mampet. Padahal, semua departemen ekonomi punya beban sama: menggenjot ekspor.
Menyadari stagnasi tak sehat, Departemen Kehutanan akhirnya memberi sinyal perbaikan. Lampu merah hanya menyala jika si besi datang dari hutan alam. Untuk kayu dari luar hutan alam atau tanah rakyat, ulin silakan jalan sampai keluar Kalimantan.
Hanya saja, hutan alam juga bukan harga mati. Menurut Sekditjen Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan, Hadi Daryanto, ulin dari hutan alam masih bisa dimanfaatkan dengan catatan, kayu tersebut merupakan tebangan untuk pembangunan jalan, pembuatan camp atau fasilitas pendukung pengelolaan hutan alam.
Hadi melanjutkan, kayu ulin yang berasal dari land clearing pembangunan hutan tanaman atau kebun juga bisa dimanfaatkan dengan dokumen Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). “Hal yang sama juga berlaku untuk kayu ulin yang berasal dari areal pertambangan,” katanya.
Itu sebabnya, kata Hadi, aturan pemanfaatan kayu ulin nantinya akan tertuang dalam surat kesepakatan bersama (SKB) dua menteri, yaitu menteri kehutanan dan menteri perdagangan. Aturan tersebut diharapkan terbit dalam waktu dekat. “Draft-nya sudah beres, sebentar lagi disahkan,” kata Hadi.
Bagaimana dengan pengusaha yang masih punya stok dari hutan alam dan tak bisa mengekspor akibat kekisruhan sebelumnya? Hadi menyatakan tak perlu cemas. Pasalnya, pemerintah memberi tenggang waktu hingga enam bulan pasca aturan tersebut disahkan untuk memanfaatkan stok kayu ulin tersebut. Dia juga menyatakan, IPK ulin yang diberikan kepada sejumlah perusahaan oleh kepala dinas dinyatakan tetap berlaku hingga satu tahun setelah diterbitkannya aturan tersebut.
Tumpang Tindih
Melegakan, memang. Sebelumnya, pengusaha dibuat kalang-kabut dan tak tahu harus memegang aturan yang mana. Pasalnya, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat edaran No. S.147/Menhut-IV/2006 pada 9 Maret 2006 yang memperketat pemanfataan dan peredaran kayu ulin. Kebijakan tersebut dipertegas lewat Surat Edaran Dirjen BPK Dephut No.S.669/IV-BPHA/2006 yang terbit 15 Agustus 2006. Dalam surat edaran itu disebutkan, kayu ulin tidak diperkenankan diperdagangkan di luar Kalimantan.
Pengetatan itu juga bukan tanpa alasan. Kayu besi ini ternyata makin langka. Di sisi lain, proses perbanyakan bibit juga sulit hingga keberadaan kayu ini makin terancam.
Sayangnya, ketika di hulu dicekik, di hilir justru tidak ada aturan perdagangan yang melarang peredaran kayu ulin seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.09/M-Dag/Per/2/2007. Ini juga ditegaskan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Departemen Perdagangan dalam suratnya kepada Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan pada 28 Mei 2007.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depdag sendiri sudah melayangkan surat bernomor 418/DAGLU/2007 pada 27 Maret 2007 kepada Dirjen BPK Dephut yang isinya meminta penjelasan terkait kebijakan Dephut tentang peredaran dan pemanfaatan kayu ulin.
Butuh kepastian
Menanggapi bakal dikeluarkannya SKB pemanfaatan kayu ulin, Ketua Umum Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), Soewarni mengaku senang dan makin cepat makin baik. Dia menilai sudah sewajarnya pemerintah memberi ketegasan. “Hal itu diperlukan guna kepastian usaha pemanfaatan kayu ulin,” katanya.
Selama ini, lanjut dia, aturan pemanfaatan kayu ulin sangat kabur, kalau bukan membingungkan. Apalagi sampai terjadi tumpang tindih aturan pemerintah tentang pemanfaatan kayu ulin.
Akibat tumpang tindih tersebut, BRIK sempat menghentikan endorsement ekspor produk kayu ulin. Namun, setelah Depdag menjelaskan kayu ulin bukan kayu haram untuk diperdagangkan BRIK, kembali meng-endorse ekspor produk kayu ulin.
Soewarni menuturkan, meski kayu ulin bukan komoditas utama perdagangan kayu Indonesia, namun dengan harga yang cukup tinggi diharapkan bisa mendongkrak kinerja ekspor industri perkayuan tanah air. Saat ini harga kayu ulin bentuk olahan mencapai 1.000 dolar AS/m3.
Soewarni mengaku kalangan pengusaha memahami jika pemerintah pada akhirnya melarang total pemanfaatan kayu ulin demi melindungi keberadaannya. Meski demikian, dia meminta agar pemerintah memberi tenggang waktu hingga stok kayu ulin yang kini berada berada di kalangan pengusaha habis. Sugiharto

Tidak ada komentar: