Rabu, 14 November 2007

Dephut Cabut HPH Keang Nam

Mendapat vonis bebas sepertinya belum akan membuat Adelin Lis tersenyum. Pasalnya, selain masuk daftar DPO kepolisian untuk kasus pencucian uang, yang lebih parah justru nyawa usaha, izin HPH PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), dibetot Departemen Kehutanan. Ada aroma politis?
Inilah perkembangan terbaru kasus Adelin Lis. Di luar ribut-ribut adanya mafia peradilan yang membebaskan anggota keluarga pemilik kelompok usaha perkayuan Mujur Timber ini, Departemen Kehutanan membuat langkah drastis. Izin HPH PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) dicabut.
Keputusan pencabutan izin HPH itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.351/Menhut-II/2007 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.805/KPTS-IV/1999 tanggal 30 September 1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT Keang Nam Development Indonesia di Kabupaten Mandalaing Natal, Sumatera Utara. Keputusan pencabutan itu terbit pada 22 Oktober 2007.
Satu hal yang patut dicermati. Dalam amar menimbang, keputusan pencabutan itu sama sekali jauh dari kenyataan yang diungkap media massa, yakni terkait pembalakan liar. HPH KNDI kena betot karena masalah teknis dan aturan yang berlaku di Dephut. Salah satunya soal kewajiban pemberian saham 20% kepada masyarakat sesuai perintah SK Menhutbun No. 805/1999.
“Ini adalah sanksi tegas yang diberikan Departemen Kehutanan bagi pengusaha yang tidak melaksanakan kewajibannya,” kata Direktur Bina Pengembangan Hutan Alam Dephut, Listya Kusumawardhani.
Listya juga menjelaskan, KNDI diketahui tidak melakukan kewajibannya berdasarkan laporan hasil penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Alam Lestari (PHAPL) yang dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen, PT Focus Consulting Group.
Padahal, kata Listya, sesuai dengan Amar ketiga Butir 1 SK Menhutbun No.805/KPTS-IV/1999 tanggal 30 September 1999 yang merupakan izin pembaharuan KNDI, perusahaan wajib melakukan pemberian saham kepada masyarakat.
Listya juga menuturkan, Dephut sudah melewati semua prosedur sebelum pencabutan dilakukan. Peringatan pertama diberikan pada 7 Februari 2007 lewat Surat Menhut No.S.86/Menhut-VI/BPHA/2007. Peringatan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peringatan kedua yang terbit 11 April 2007 lewat surat Menhut No.S198/Menhut-VI/BPHA.
Karena tak juga mendapat tanggapan, peringatan ketiga pun dilayangkan tanggal 31 Mei 207 lewat surat Menhut No.S.296/Menhut-VI/BPHA/2007. “Setelah batas waktu yang ditentukan KNDI tidak memenuhi kewajibannya, maka izinnya kami cabut,” katanya.
Setelah pencabutan, Dephut memerintahkan agar KNDI menghentikan semua kegiatannya. Kewajiban finansial yang belum diselesaikan juga harus dipenuhi. KNDI juga harus melaporkan pertanggungjawaban yang meliputi seluruh aspek kegiatan teknis dan finansial yang telah dilaksanakan kepada pemerintah paling lambat 30 hari pasca pencabutan. “Apabila hal itu tidak dilaksanakan, maka KNDI bisa dikenakan tindakan hukum sesuai dengan perundangan yang berlaku,” kata Listya.
Listya bahkan menyiratkan, kalau izin HPH milik Adelin Lis yang lain, PT Inanta Timber yang memegang konsesi seluas 40.610 ha di Batang Gadis, Madina, Sumatera Utara juga dibidik Dephut. “Saat ini kami masih melakukan penyelidikan. Jika memang terbukti melanggar, sanksi pencabutan bisa dikenakan,” katanya.
Aroma Politis
Pencabutan izin HPH milik Adelin Lis di tengah ramainya kasus ini, tentu memunculkan pertanyaan. Adakah tekanan terhadap Dephut untuk melakukan tindakan tersebut? Atau, apakah ini merupakan upaya Dephut meredam tekanan masyarakat?
Hal ini pula yang jadi pertanyaan Sekretaris Badan Koodinasi Daerah Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Kalimantan Barat, Gusti Hardiansyah. Menurut dia, sangat disayangkan jika Dephut mengambil tindakan tersebut jika hanya didasarkan kepada tekanan pihak lain. “Jangan sampai untuk sekadar mendinginkan suasana, Dephut mengambil tindakan yang merugikan kalangan pengusaha,” katanya.
Jika itu yang terjadi, lanjut dia, akan timbul kekhawatiran di kalangan pengusaha soal masa depan usahanya. Terutama yang saat ini sedang berurusan dengan kepolisian.
Listya membantah kalau tindakan yang diambil Dephut didasarkan kepada tindakan politis untuk “menyelamatkan muka” Dephut. Tindakan yang diambil terhadap KNDI murni dilakukan dengan pertimbangan teknis kehutanan dan peraturan yang berlaku. “Perusahaan tersebut tak merealisasikan kewajibannya. Otomatis kami cabut,” katanya.
Dia juga menegaskan, hal yang sama bisa dilakukan bagi perusahaan lain yang tidak melaksanakan kewajibannya. “Kami mendorong agar pemegang izin HPH mengelola hutannya secara lestari dan berkelanjutan. Untuk itu, semuanya harus mengikuti peraturan yang ditetapkan,” tegas Listya.
Gusti sendiri menilai, jika pencabutan izin KNDI memang murni disebabkan kesalahan KNDI, sudah sepanyasnya itu dijadikan pelajaran oleh perusahaan lain. Pemerintah, kata Gusti, tak akan main-main dalam mengakan peraturan. “Jadi, bagi pengusaha yang masih mau berbisnis kehutanan harus pengusaha yang benar-benar punya komitmen untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan menerapkan peraturan yang berlaku,” katanya.
Dia juga mengapresiasi langkah yang diambil Dephut, terutama berkaca pada kasus Adelin Lis. Langkah Dephut yang dimotori Menteri Kehutanan MS Kaban dalam memberi jaminan bagi pengusaha pemegang izin sudah sangat tepat. “Menhut telah berani melindungi pengusaha yang memegang izin sah,” katanya.
Meski demikian, hal itu belum cukup untuk mendorong revitalisasi kehutanan seperti yang dicanangkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, seluruh jajaran pemerintah seharusnya bisa memberi jaminan usaha bagi pengusaha pemegang izin resmi yang diterbitkan pemerintah. “Jika tidak, revitalisasi kehutanan sangat berat,” ujarnya. Sugiharto

Mentok di Sumut, Mentok di Riau
Apa yang terjadi di Sumatera Utara lewat kasus Adelin Lis seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak penegak hukum. Para pemegang izin yang sah tak bisa seenaknya diobok-obok. Jadi, kalau kali ini penegak hukum mentok di Sumut, hal yang sama bisa jadi mentok di Riau, provinsi yang juga sedang panas-panasnya soal illegal logging.
Asal tahu, Tim gabungan percepatan penanganan pemberantasan illegal logging di Riau bentukan presiden baru saja melansir rekomendasinya.
Rekomendasi tersebut dilansir awal pekan lalu usai rapat koordinasi bidang Polhukam yang dipimpin Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Widodo AS. Rapat dihadiri Menkopulhukham, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Sutanto, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar, dan Sekjen Departemen Kehutanan Boen M Purnama.
Rekomendasi Tim gabungan menyebut, guna mempercepat proses penyelesaian kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging), pemerintah menetapkan empat tindakan. Keempat langkah yang ditempuh adalah percepatan proses hukum, evaluasi kebijakan pengelolaan kehutanan, kelanjutan kegiatan usaha serta pemanfaatan kayu sitaan melalui lelang. Percepatan proses hukum yang dilakukan mencakup keseluruhan aspek, yaitu pidana, perdata, dan administrasi.
Percepatan proses hukum dilaksanakan sesuai dengan konstruksi hukum yang mengacu pada peraturan perundangan yang ada, seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di samping peraturan perundangan yang lain.
Departemen Kehutanan juga akan merevisi dan menata kebijakan pengelolaan kehutanan, di antarannya menyangkut perencanaan tata ruang dan penataan proses hukum. Sedangkan untuk keberlanjutan kegiatan usaha, pemerintah menetapkan agar kegiatan usaha yang berlangsung harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada.
Sedangkan pemanfaat kayu sitaan melalui lelang, pemerintah menyepakati pemanfaatan kayu yang masih berstatus barang bukti dilakukan melalui proses lelang yang dipercepat. Menurut anggota Tim Gabungan yang mewakili Dephut, Arman Malolongan, rekomendasi itu bukan kerja final Tim Gabungan. “Tim Gabungan masih akan melakukan rapat lanjutan untuk menentukan langkah selanjutnya,” katanya.Rekomendasi terkesan normatif? Bisa jadi. Apalagi, rekomendasi yang dihasilkan tak jauh-jauh dari instruksi presiden ketika tim gabungan dibentuk. Pastinya, jangan kaget jika penyelesaian berbagai kasus di Riau bakal sama persis seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Sugiharto

Tidak ada komentar: